Pada tanggal 7 Maret 2009 PC ISFI Kota Magelang mengadakan Pendidikan Farmasi Berkelanjutan dengan tema "Peduli Kolesterol salah satu Upaya pencegahan Penyakit Jantung Koroner" pada kesempatan tersebut 2 orang narasumber memberikan informasi yang di hadiri oleh Apoteker se Kedu. Naresumber yang pertama adalah
dr. Lucia Kris Dinarti, Sp.PD.,Sp.JP., FIHA dari bagian kardiologi RSUP dr. Sarjito Yogyakarta
nara sumber yang kedua adalah
Dra. AM Wara Kusharwanti, M.Si., Apt.
adapun rangkaian materi yang di sampaikan sebagai berikut:
PEDULI KOLESTEROL, SALAH SATU PENCEGAHAN PENYAKIT JANTUNG KORONER
Patofisiologi, Diagnosis dan penatalaksanaan
Lucia Kris Dinarti
Bagian Kardiologi
FK UGM / RSUP Dr.Sarjito
Yogyakarta
Pendahuluan
Transisi epidemiologi telah menempatkan berbagai jenis penyakit degeneratif menjadi masalah utama kesehatan masyarakat menggantikan berbagai penyakit infeksi seperti pada beberapa dekade yang lampau. Salah satu penyakit degeneratif yang angka kejadiannya terus meningkat seiring waktu adalah penyakit jantung koroner (PJK). PJK telah tercatat sebagai penyebab kematian utama pada manusia di negara-negara maju, mungkin pula di negara kita. Di USA, PJK menyumbang 733.834 kematian jiwa atau sekitar 31,6 % dari jumlah kematian total selama tahun 1996. Inggris merupakan salah satu negara dengan tingkat kematian dikarenakan PJK yang tertinggi di antara negara-negara maju lainnya. The Health Survey for England (1996) menyatakan bahwa 3% dari penduduk dewasa disana mengalami angina serta 0.5% dari penduduk dewasa telah mengalami infark miokard dalam waktu 1 tahun terakhir. Satu dari empat laki-laki dan satu dari lima wanita di Inggris meninggal dunia disebabkan oleh PJK. Belum terdapat data yang sahih di Indonesia, tetapi sebagai gambaran, terdapat tidak kurang dari 500 kasus serangan jantung per tahunnya di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita-Jakarta.
PJK merupakan penyakit yang masih merupakan permasalahan baik dalam hal pencegahan, deteksi dini maupun penanganannya. Walaupun dalam dua dekade belakangan ini case fatality rate dari kejadian PJK telah menurun sekitar 50 % dari sebelumnya seiring dengan kemajuan dalam hal metode prevensi dan terapinya, PJK masih merupakan penyebab utama dari disfungsi ventrikel kiri dan gagal jantung kronik sebagai komplikasi lanjutannya.
Kita ketahui bahwa ada beberapa factor risiko penyakit jantung koroner seperti hipertensi, dyslipidemia, diabetes mellitus, merokok, riwayat keluarga, kegemukan. Dari beberapa factor risiko koroner tadi ternyata dyslipidemia dianggap yang paling bertnggung jawab terhadap kejadian penyakit jantung koroner. Penanganan sebaiknya telah dimulai sejak penderita memiliki faktor resiko dan follow up rutin diperlukan untuk mencegah kejadian serangan jantung yang pertama (pencegahan primer). Bagaimanapun pencegahan terhadap serangan jantung yang pertama adalah upaya dengan outcome terbaik sehingga dewasa ini telah terdapat begitu banyak penelitian yang memfokuskan pada terapi profilaksis terhadap PJK.
Proses atherotrombosis yang merupakan penyebab masalah dalam PJK tidak mungkin terjadi demikian saja tanpa dipengaruhi oleh beberapa faktor penting yang dikenal sebagai faktor-faktor resiko kejadian PJK. Pertambahan usia, post-menopause pada wanita, dan adanya riwayat keluarga merupakan faktor-faktor resiko PJK yang tidak dapat dihindari. Lebih penting bagi klinisi untuk mengenali faktor-faktor resiko utama PJK yang dapat diubah atau dimodifikasi seperti merokok, obesitas, hipertensi, diabetes mellitus, gangguan profil lipid (LDL dan trigliserid yang tinggi serta HDL yang rendah), Obstructive Sleep Apnea (OSA), gaya hidup borjuis (banyak makan dan malas-malasan, sedikit aktivitas fisik) serta pola psikologis negatif (stress psikis, ansietas dan depresi). Umumnya pasien dengan PJK memiliki serentetan faktor resiko kompleks dan tidak jarang memiliki beberapa penyakit penyerta lainnya seperti riwayat stroke, insufisiensi renal maupun diabetes mellitus. Pengendalian sedini mungkin terhadap faktor resiko yang ada akan sangat berperanan dalam manajemen PJK secara keseluruhan.
Spektrum Klinis
PJK merupakan suatu spektrum penyakit yang bersifat progresif dan memiliki manifestasi klinis bervariasi dari asimtomatik, suatu angina stabil, sindrom koroner akut bahkan kematian mendadak (sudden cardiac death). Pada awalnya variasi klinis dari PJK tersebut diperkirakan karena perbedaan besarnya oklusi lumen pembuluh koroner dikarenakan proses atherosklerosis. Pada waktu itu dipercaya bahwa semakin besar plak atheroma dan semakin berat stenosis yang ditimbulkannya maka semakin mudah pula untuk terjadinya SKA. Namun pada kenyataannya justru lebih banyak penderita dengan stenosis ringan-sedang yang mengalami kejadian SKA. Sejumlah penelitian mutakhir akhirnya menyatakan bahwa progresi plak atherom tersebut tidak berjalan sedemikian liniernya melainkan terdapat periode-periode akut tertentu yang disebabkan oleh karena ruptur atau erosi dari plak atherom dan diikuti dengan trombogenesis sehingga menimbulkan oklusi parsial maupun total yang mendadak pada aliran koroner. Kejadian oklusi yang mendadak tersebut potensial menimbulkan kematian dari otot-otot jantung karena sistem kolateral tidak sempat berfungsi. Pemahaman akan terjadinya ruptur dan erosi mendadak dari plak atherom tersebut telah menimbulkan metode pendekatan baru dalam penanganan PJK. Sindrom klinis yang terkait dengan kejadian akut tersebut disebut sebagai Sindrom Koroner Akut (SKA) yang penting untuk dikenali untuk kepentingan terapi.
Yang disebut sebagai SKA adalah kondisi klinis meliputi;
Pasien dengan angina pectoris yang tak stabil ( Unstable Angina/ UA)
Pasien dengan infark miokard tanpa disertai elevasi segmen ST pada rekaman elektrokardiogram (Non ST-Elevasi Myocardial Infarction/ N-STEMI )
Pasien dengan infark miokard dengan terdapatnya elevasi segmen ST pada rekaman elektrokardiogram ( ST-Elevasi Myocardial Infarction / STEMI ).
Ketiga keadaan klinis ini penting untuk dibedakan antara satu dengan yang lainnya terkait dengan keperluan reperfusi yang mendesak atau tidak, serta perlu pula dibedakan dari Angina Stabil karena SKA merupakan suatu kegawatdaruratan dengan ancaman komplikasi yang serius sehingga memerlukan perawatan yang intensif. Resiko kematian pada SKA (UA, N-STEMI dan STEMI) lebih tinggi daripada PJK yang stabil lainnya yaitu sekitar 5-10 % dalam pemantauan 1 bulan pasca serangan.
Patofisiologi Sindrom Koroner Akut (SKA)
Dinding pembuluh koroner bagian dalam dilapisi oleh endotel yang sangat berperanan dalam hemodinamika sistem kardiovaskuler. Normalnya lapisan endotel sangat licin dan protektif sehingga tidak memungkinkan sel-sel darah seperti trombosit dan monosit maupun senyawa kolesterol LDL menempel di dinding pembuluh darah atau menyusup ke dalamnya. Fungsi dari endotel ini dapat terganggu oleh karena trauma kronis pada endotel yang disebabkan oleh berbagai faktor resiko PJK seperti stress oksidatif dari rokok dan hiperglikemia, hipertensi, hiperlipidemia,dll. Disfungsi endotel merupakan pangkal dari rentetan proses atherogenesis selanjutnya. Disfungsi endotel memungkinkan terjadinya akumulasi lipid dan trombosit yang progresif di kemudian waktu.
Pada keadaan disfungsi endotel, monosit akan mudah menyusup ke subendotel dan mengubah diri menjadi sel makrofag yang rakus. Selanjutnya sel makrofag ini akan memfagositosis kolesterol LDL yang telah teroksidasi (oxLDL) untuk membentuk sel busa (foam cell). Sel busa suatu saat akan mengalami kematian dan meninggalkan suatu lesi berupa fatty streak pada lapisan subendotel, yang merupakan lesi awal dari dari plak atheroma. Proses selanjutnya adalah proliferasi dari otot polos dan matriks dinding pembuluh darah ke arah fatty streak sehingga terbentuklah suatu plak dengan senyawa lipid di tengahnya (lipid core).
Lipid core tersebut diselimuti oleh suatu kapsul fibrosa yang terdiri atas jaringan ikat.
Bila suatu plak atheroma memiliki kapsul fibrosa yang tebal dan kuat disertai lipid core yang lebih pada di dalamnya maka disebut sebagai plak stabil. Namun jika lipid core lebih dominan dengan ditutupi kapsul yang tipis maka disebut plak tidak stabil, yang tentunya lebih mudah erosi maupun ruptur di kemudian hari dikarenakan suatu faktor pemicu. Jadi bila dicermati, terdapat 2 macam plak atheroma pada pembuluh koroner yaitu plak stabil dan plak tak stabil.. Jadi untuk terjadi SKA bukan lagi tergantung pada besar kecilnya suatu plak atheroma melainkan tergantung pada tipe plaknya, apakah plak stabil atau tak stabil. Plak tak stabil lebih terkait terhadap kejadian SKA, sedangkan plak stabil umumnya bermanifestasi klinis sebagai angina stabil.
Setengah kasus SKA didahului oleh faktor pemicu yang khas seperti latihan fisik yang berat, stress psikis, hawa dingin, infeksi atau trauma berat, lebih banyak terjadi pada pagi hari maupun aktivitas yang berhubungan dengan simpatisasi berlebih yang akan meningkatkan tekanan darah dan aliran koroner tiba-tiba. Diperlukan suatu pencetus untuk menimbulkan rupturnya plak yang tak stabil. Demikian dirangkumkan beberapa faktor pencetus yang turut mempengaruhi instabilitas dan memicu ruptur plak atheroma;
karakteristik internal plak; besarnya, lokasinya, kepadatan lipid core, dan tebalnya kapsul yang yang menyelimuti
disfungsi endotel
proliferasi dan apoptosis otot polos
infeksi
aktivitas mediator dan sel-sel inflamasi (terutama infiltrasi makrofag yang menghasilkan enzim metaloprotease yang mampu menghancurkan matriks plak)
faktor-faktor farmakologik
Kejadian selanjutnya setelah terjadinya robekan pada plak adalah trombogenesis. Akan terjadi trombosis pada daerah robekan diawali dengan adhesi platelet kemudian agregasi platelet dan diikuti dengan terbentuknya fibrin melalui pengaktifan faktor-faktor koagulasi darah. Akhirnya terbentuklah white clot yang merupakan gumpalan dini pada daerah plak yang ruptur. Selanjutnya datanglah eritrosit untuk menutupi seluru permukaan white clot sehingga terbentuklah red clot. Sebagai respon terhadap disfungsi dan adanya luka pada endotel maka terjadilah vasokonstriksi yang akan memperberat proses oklusi pada pembuluh koroner sehingga menimbulkan manifestasi klinis sebagai Sindrom Koroner Akut (SKA). Proses trombogenesis akut adalah kunci utama dalam patofisiologi SKA.
Diagnosis
SKA merupakan suatu kegawatdaruratan dalam bidang kardiologi sehingga identifikasi dini, penegakkan diagnosa secara tepat dan penanganan adekwat diperlukan untuk menghindarkan resiko mortalitas maupun morbiditas yang ditimbulkannya. Dalam penanganan SKA dikenal prinsip time is muscle, muscle means life. Semakin cepat penanganan maka akan meminimalkan luasnya kerusakan otot jantung sehingga fungsi ventrikel dapat dipertahankan se-optimal mungkin demi tercapainya kualitas hidup penderita dalam jangka panjang ke depan.
Diagnosa SKA harus dapat ditegakkan dengan cepat dan tepat dengan berdasarkan 3 kriteria utama yaitu;
anamnesa yang cermat akan adanya nyeri dada yang khas
elektrokardiogram (EKG)
pemeriksaan cardiac marker
1. Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesa merupakan modalitas yang sangat penting dalam penegakan diagnosa SKA, hal tersebut dikarenakan seringkali pemeriksaan fisik pada pasien SKA tidak memberikan tanda-tanda yang berarti. Pemeriksaan fisik terutama hanya menunjukkan adanya tanda-tanda komplikasi pasca serangan misalnya dengan terdapatnya gallop, bising jantung terkait regurgitasi mitral atau ruptur septal, hipotensi atau shock, tanda-tanda bendungan paru akut, tanda-tanda simpatisasi serta adanya aritmia.
Nyeri dada tipikal (angina) adalah gejala kardinal pada kejadian SKA. Adalah penting bagi klinisi untuk mampu mengenal nyeri dada yang berasal dari iskemia / infark miokard dan membedakannya dengan nyeri dada lainnya. Nyeri dada tipikal dibedakan dengan nyeri dada lainnya berdasarkan lokasi nyeri dan penjalarannya, sifat karakteristik nyerinya, durasi, faktor pencetus dan peredanya, faktor penyertanya, serta dengan menanyakan adanya faktor-faktor resiko PJK. Nyeri dada tipikal yang mengarah pada SKA adalah nyeri dada akut berupa rasa berat seperti tertekan yang berasal dari retrosternal atau dada sebelah kiri dan dapat menjalar hingga ke kerongkongan, rahang, bahu, punggung serta lengan kiri. Tidak jarang pada infark di inferior gejala yang dirasakan penderita berupa epigastric pain sehingga tidak jarang terlewatkan oleh klinisi jika pemeriksaan penunjang lainnya tidak dilakukan. Gejala tersebut muncul umumnya dipicu oleh aktivitas yang meningkatkan kebutuhan oksigen bagi otot jantung.
Nyeri dada yang terkait dengan infark miokard umumnya berlangsung lebih dari 15 menit dan tidak mudah mereda walaupun sudah beristirahat dan menggunakan preparat nitrat. Nyeri dapat dirasakan sedemikian hebatnya dan disertai dengan tanda-tanda simpatisasi seperti keringat dingin, takikardia, mual dan muntah. Tidak jarang penderita datang telah dalam kondisi sesak napas dikarenakan disfungsi ventrikel kiri sebagai salah satu komplikasi SKA. Unstable Angina sendiri dapat tampil berupa tiga jenis presentasi klinis yang membedakannya dengan Stable Angina yaitu ;
angina yang terjadi saat istirahat (rest angina)
angina yang baru pertama kali dialami (new onset angina)
angina yang memberat dalam hal frekuensi maupun durasinya
2. Elektrokardiogram (EKG)
EKG 12 sadapan adalah pemeriksaan penunjang terpenting dan terpraktis dalam penegakan diagnosa SKA. Sesuai dengan algoritma Advanced Cardiac Life Support (ACLS) terbaru, pasien dengan nyeri dada akut yang dicurigai sebagai suatu SKA harus dilakukan perekaman EKG untuk selanjutnya akan diklasifikasikan ke dalam 3 kelompok utama untuk kepentingan terapi lanjutannya.
Pengelompokan pasien dengan nyeri dada tipikal tersebut berdasarkan triase EKG adalah ;
Kelompok dengan gambaran EKG ST-elevasi (STEMI) atau Left Bundle Branch Block (LBBB) onset baru. Merupakan kecurigaan yang kuat akan terjadinya injury maupun infark.
Kelompok dengan gambaran EKG ST-depresi atau inversi gelombang T yang dinamis (UA resiko tinggi / N-STEMI). Merupakan kecurigaan yang kuat akan suatu proses iskemia miokard.
Kelompok dengan gambaran EKG dalam batas normal atau tidak spesifik. Merupakan UA resiko rendah-menengah.
Penderita SKA dengan gambaran EKG berupa ST-elevasi atau LBBB baru dan memiliki waktu onset <> 0.1 mV pada dua atau lebih sadapan ekstremitas berdampingan dan atau > 0.2 mV pada dua atau lebih sadapan prekordial berdampingan. ST elevasi pada suatu kelompok sadapan akan diikuti oleh depresi ST pada sadapan kontralateral lainnya sebagai suatu fenomena elektrik saat terjadinya infark. Selanjutnya perlahan gelombang T akan turun dan menjadi inversi yang diikuti pula dengan terbentuknya gelombang Q yang lebar dan dalam (Q patologik) sebagai penanda adanya kematian / infark dari miokard bersangkutan. Segmen ST dalam beberapa hari berikutnya akan turun kembali ke garis isoelektrik sehingga selanjutnya sisa gambaran EKG pada infark berupa adanya Q patologik disertai dengan inversi gelombang T. Oleh karena itu EKG serial dibutuhkan dalam diagnosis yang akurat serta follow up. Selain sebagai pendukung diagnosis SKA, melalui EKG juga dapat diperkirakan lokasi miokard yang mengalami infark.
3. Pemeriksaan Cardiac Marker
Cardiac marker berguna untuk mendeteksi adanya kerusakan otot jantung. Menurut Panduan ACC/AHA dan ESC 2007, terdapat 3 cardiac marker yang dianjurkan yaitu cardiac specific Troponin I (TnI) / Troponin T (TnT), creatine kinase myocardial band (CKMB) dan myoglobin. Peningkatan kadar cardiac marker tersebut lebih dari 2 kali nilai normal mengindikasikan adanya kerusakan otot jantung.
Beberapa hal terkait dengan cardiac marker ;
- cardiac specific Troponin merupakan gold standard untuk mendeteksi kerusakan miokard pada pasien yang dicurigai SKA karena cardiac marker ini sangat spesifik terhadap otot jantung
- cardiac Troponin positif pada pasien dengan klinis SKA merupakan indikator pasien resiko tinggi
- CKMB masih merupakan cardiac marker unggulan untuk deteksi dini infark miokard serta pada kecurigaan akan adanya infark miokard rekuren (angina post-infark).
- Myoglobin adalah penanda yang sangat sensitif untuk kejadian infark miokard, namun bersifat kurang spesifik (negative predictive value).
Spektrum Klinis Sindrom Koroner Akut
Jenis
Nyeri dada
EKG
Cardiac marker
UA
Rest angina, new onset angina, crescendo angina; bisa mereda dengan nitrat
Depresi ST, inversi T, tidak ada Q patologik
normal
NSTEMI
Nyeri lebih berat dan lama (>30 mnt);
Tidak kunjung mereda dengan nitrat, memerlukan opioid
Depresi ST, inversi T yang dalam
meningkat
STEMI
Nyeri lebih berat dan lama ( >30 mnt); tidak mereda dengan nitrat, memerlukan opioid
Hiperakut T, elevasi ST,
Q patologik, inversi T
meningkat
Kesimpulan
Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah manifestasi klinis dari penyakit jantung koroner yang bersifat kegawatdaruratan. SKA sendiri merupakan suatu spektrum klinis yang terdiri atas Unstable Angina (UA), Non-ST Elevesi Myocardial Infarction (NSTEMI) dan ST-Elevasi Myocardial Infarction (STEMI). Presentasi klinis tersebut terjadi disebabkan oleh adanya ruptur atau erosi dari plak atheroma pada pembuluh koroner. Proses trombogenesis akut merupakan kunci utama patofisiologi SKA. Penanganan factor 2 risiko khususnya dyslipidemia sangat penting dalam upaya pencegahan terhadap penyakit jantung koroner Identifikasi dan penanganan dini diperlukan untuk menekan angka mortalitas maupun morbiditas. Terdapat 3 modalitas diagnosa yang penting pada SKA yaitu anamnesa adekwat terhadap nyeri dada, perekaman EKG dan pemeriksaan cardiac marker (terutama CKMB dan cardiac Troponin).
DAFTAR PUSTAKA
Mihai Gheorghiade, Robert O. Bonow, Coronary Artery Disease, In: H. David Humes, Kelley’s Textbook of Internal Medicine. 4th edition. Philadelphia; Lippincott Williams & Wilkins; 2000.Ch.72
Eric. J Topol, Frans J. Van de Worf, Acute Myocardial Infarction: Early Diagnosis and Management, In: Eric J.Topol, Textbook of Cardiovascular Medicine, 2nd edition. Lippincott Williams & Wilkins; 2002
Rumah Sakit Jantung Harapan Kita. Diagnosis dan Tatalaksana Hipertensi, Sindrom Koroner Akut dan Gagal Jantung. Jakarta: Balai Penerbit Rumah Sakit Jantung Harapan Kita; 2001
Sjaharuddin Harun, Tommy P.Sibuea. Diagnosis dan Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut. Prosiding Simposium Pendekatan Holistik Penyakit Kardiovaskular VI; Juli 2007; Jakarta, Indonesia. Jakarta: Penerbit FKUI; 2007
Huon H.Gray, Keith D.Dawkins, cs. Lecture Notes Kardiologi. Edisi keempat. Jakarta: Erlangga; 2003
H.L.Brooks, K.C.Preuss, cs, Basic Concepts of Myocardial Infarction, In: Harold L.Brooks, Electrocardiography: 100 Diagnostic Criteria. USA; Year Book Medical Publishers, Inc; 1987.p.35-50
Bambang Irawan, Pathogenesis of Acute Coronary Syndrome, In: Workshop Acute Coronary Syndrome, 4th Jogja Cardiology Update; Juli 2008; Yogyakarta, Indonesia. Yogyakarta: Penerbit FK UGM; 2008.p.5-20.
John M.Field, editors. Advanced Cardiovascular Life Support Provider Manual. USA: American Heart Association; 2006
Patofisiologi, Diagnosis dan penatalaksanaan
Lucia Kris Dinarti
Bagian Kardiologi
FK UGM / RSUP Dr.Sarjito
Yogyakarta
Pendahuluan
Transisi epidemiologi telah menempatkan berbagai jenis penyakit degeneratif menjadi masalah utama kesehatan masyarakat menggantikan berbagai penyakit infeksi seperti pada beberapa dekade yang lampau. Salah satu penyakit degeneratif yang angka kejadiannya terus meningkat seiring waktu adalah penyakit jantung koroner (PJK). PJK telah tercatat sebagai penyebab kematian utama pada manusia di negara-negara maju, mungkin pula di negara kita. Di USA, PJK menyumbang 733.834 kematian jiwa atau sekitar 31,6 % dari jumlah kematian total selama tahun 1996. Inggris merupakan salah satu negara dengan tingkat kematian dikarenakan PJK yang tertinggi di antara negara-negara maju lainnya. The Health Survey for England (1996) menyatakan bahwa 3% dari penduduk dewasa disana mengalami angina serta 0.5% dari penduduk dewasa telah mengalami infark miokard dalam waktu 1 tahun terakhir. Satu dari empat laki-laki dan satu dari lima wanita di Inggris meninggal dunia disebabkan oleh PJK. Belum terdapat data yang sahih di Indonesia, tetapi sebagai gambaran, terdapat tidak kurang dari 500 kasus serangan jantung per tahunnya di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita-Jakarta.
PJK merupakan penyakit yang masih merupakan permasalahan baik dalam hal pencegahan, deteksi dini maupun penanganannya. Walaupun dalam dua dekade belakangan ini case fatality rate dari kejadian PJK telah menurun sekitar 50 % dari sebelumnya seiring dengan kemajuan dalam hal metode prevensi dan terapinya, PJK masih merupakan penyebab utama dari disfungsi ventrikel kiri dan gagal jantung kronik sebagai komplikasi lanjutannya.
Kita ketahui bahwa ada beberapa factor risiko penyakit jantung koroner seperti hipertensi, dyslipidemia, diabetes mellitus, merokok, riwayat keluarga, kegemukan. Dari beberapa factor risiko koroner tadi ternyata dyslipidemia dianggap yang paling bertnggung jawab terhadap kejadian penyakit jantung koroner. Penanganan sebaiknya telah dimulai sejak penderita memiliki faktor resiko dan follow up rutin diperlukan untuk mencegah kejadian serangan jantung yang pertama (pencegahan primer). Bagaimanapun pencegahan terhadap serangan jantung yang pertama adalah upaya dengan outcome terbaik sehingga dewasa ini telah terdapat begitu banyak penelitian yang memfokuskan pada terapi profilaksis terhadap PJK.
Proses atherotrombosis yang merupakan penyebab masalah dalam PJK tidak mungkin terjadi demikian saja tanpa dipengaruhi oleh beberapa faktor penting yang dikenal sebagai faktor-faktor resiko kejadian PJK. Pertambahan usia, post-menopause pada wanita, dan adanya riwayat keluarga merupakan faktor-faktor resiko PJK yang tidak dapat dihindari. Lebih penting bagi klinisi untuk mengenali faktor-faktor resiko utama PJK yang dapat diubah atau dimodifikasi seperti merokok, obesitas, hipertensi, diabetes mellitus, gangguan profil lipid (LDL dan trigliserid yang tinggi serta HDL yang rendah), Obstructive Sleep Apnea (OSA), gaya hidup borjuis (banyak makan dan malas-malasan, sedikit aktivitas fisik) serta pola psikologis negatif (stress psikis, ansietas dan depresi). Umumnya pasien dengan PJK memiliki serentetan faktor resiko kompleks dan tidak jarang memiliki beberapa penyakit penyerta lainnya seperti riwayat stroke, insufisiensi renal maupun diabetes mellitus. Pengendalian sedini mungkin terhadap faktor resiko yang ada akan sangat berperanan dalam manajemen PJK secara keseluruhan.
Spektrum Klinis
PJK merupakan suatu spektrum penyakit yang bersifat progresif dan memiliki manifestasi klinis bervariasi dari asimtomatik, suatu angina stabil, sindrom koroner akut bahkan kematian mendadak (sudden cardiac death). Pada awalnya variasi klinis dari PJK tersebut diperkirakan karena perbedaan besarnya oklusi lumen pembuluh koroner dikarenakan proses atherosklerosis. Pada waktu itu dipercaya bahwa semakin besar plak atheroma dan semakin berat stenosis yang ditimbulkannya maka semakin mudah pula untuk terjadinya SKA. Namun pada kenyataannya justru lebih banyak penderita dengan stenosis ringan-sedang yang mengalami kejadian SKA. Sejumlah penelitian mutakhir akhirnya menyatakan bahwa progresi plak atherom tersebut tidak berjalan sedemikian liniernya melainkan terdapat periode-periode akut tertentu yang disebabkan oleh karena ruptur atau erosi dari plak atherom dan diikuti dengan trombogenesis sehingga menimbulkan oklusi parsial maupun total yang mendadak pada aliran koroner. Kejadian oklusi yang mendadak tersebut potensial menimbulkan kematian dari otot-otot jantung karena sistem kolateral tidak sempat berfungsi. Pemahaman akan terjadinya ruptur dan erosi mendadak dari plak atherom tersebut telah menimbulkan metode pendekatan baru dalam penanganan PJK. Sindrom klinis yang terkait dengan kejadian akut tersebut disebut sebagai Sindrom Koroner Akut (SKA) yang penting untuk dikenali untuk kepentingan terapi.
Yang disebut sebagai SKA adalah kondisi klinis meliputi;
Pasien dengan angina pectoris yang tak stabil ( Unstable Angina/ UA)
Pasien dengan infark miokard tanpa disertai elevasi segmen ST pada rekaman elektrokardiogram (Non ST-Elevasi Myocardial Infarction/ N-STEMI )
Pasien dengan infark miokard dengan terdapatnya elevasi segmen ST pada rekaman elektrokardiogram ( ST-Elevasi Myocardial Infarction / STEMI ).
Ketiga keadaan klinis ini penting untuk dibedakan antara satu dengan yang lainnya terkait dengan keperluan reperfusi yang mendesak atau tidak, serta perlu pula dibedakan dari Angina Stabil karena SKA merupakan suatu kegawatdaruratan dengan ancaman komplikasi yang serius sehingga memerlukan perawatan yang intensif. Resiko kematian pada SKA (UA, N-STEMI dan STEMI) lebih tinggi daripada PJK yang stabil lainnya yaitu sekitar 5-10 % dalam pemantauan 1 bulan pasca serangan.
Patofisiologi Sindrom Koroner Akut (SKA)
Dinding pembuluh koroner bagian dalam dilapisi oleh endotel yang sangat berperanan dalam hemodinamika sistem kardiovaskuler. Normalnya lapisan endotel sangat licin dan protektif sehingga tidak memungkinkan sel-sel darah seperti trombosit dan monosit maupun senyawa kolesterol LDL menempel di dinding pembuluh darah atau menyusup ke dalamnya. Fungsi dari endotel ini dapat terganggu oleh karena trauma kronis pada endotel yang disebabkan oleh berbagai faktor resiko PJK seperti stress oksidatif dari rokok dan hiperglikemia, hipertensi, hiperlipidemia,dll. Disfungsi endotel merupakan pangkal dari rentetan proses atherogenesis selanjutnya. Disfungsi endotel memungkinkan terjadinya akumulasi lipid dan trombosit yang progresif di kemudian waktu.
Pada keadaan disfungsi endotel, monosit akan mudah menyusup ke subendotel dan mengubah diri menjadi sel makrofag yang rakus. Selanjutnya sel makrofag ini akan memfagositosis kolesterol LDL yang telah teroksidasi (oxLDL) untuk membentuk sel busa (foam cell). Sel busa suatu saat akan mengalami kematian dan meninggalkan suatu lesi berupa fatty streak pada lapisan subendotel, yang merupakan lesi awal dari dari plak atheroma. Proses selanjutnya adalah proliferasi dari otot polos dan matriks dinding pembuluh darah ke arah fatty streak sehingga terbentuklah suatu plak dengan senyawa lipid di tengahnya (lipid core).
Lipid core tersebut diselimuti oleh suatu kapsul fibrosa yang terdiri atas jaringan ikat.
Bila suatu plak atheroma memiliki kapsul fibrosa yang tebal dan kuat disertai lipid core yang lebih pada di dalamnya maka disebut sebagai plak stabil. Namun jika lipid core lebih dominan dengan ditutupi kapsul yang tipis maka disebut plak tidak stabil, yang tentunya lebih mudah erosi maupun ruptur di kemudian hari dikarenakan suatu faktor pemicu. Jadi bila dicermati, terdapat 2 macam plak atheroma pada pembuluh koroner yaitu plak stabil dan plak tak stabil.. Jadi untuk terjadi SKA bukan lagi tergantung pada besar kecilnya suatu plak atheroma melainkan tergantung pada tipe plaknya, apakah plak stabil atau tak stabil. Plak tak stabil lebih terkait terhadap kejadian SKA, sedangkan plak stabil umumnya bermanifestasi klinis sebagai angina stabil.
Setengah kasus SKA didahului oleh faktor pemicu yang khas seperti latihan fisik yang berat, stress psikis, hawa dingin, infeksi atau trauma berat, lebih banyak terjadi pada pagi hari maupun aktivitas yang berhubungan dengan simpatisasi berlebih yang akan meningkatkan tekanan darah dan aliran koroner tiba-tiba. Diperlukan suatu pencetus untuk menimbulkan rupturnya plak yang tak stabil. Demikian dirangkumkan beberapa faktor pencetus yang turut mempengaruhi instabilitas dan memicu ruptur plak atheroma;
karakteristik internal plak; besarnya, lokasinya, kepadatan lipid core, dan tebalnya kapsul yang yang menyelimuti
disfungsi endotel
proliferasi dan apoptosis otot polos
infeksi
aktivitas mediator dan sel-sel inflamasi (terutama infiltrasi makrofag yang menghasilkan enzim metaloprotease yang mampu menghancurkan matriks plak)
faktor-faktor farmakologik
Kejadian selanjutnya setelah terjadinya robekan pada plak adalah trombogenesis. Akan terjadi trombosis pada daerah robekan diawali dengan adhesi platelet kemudian agregasi platelet dan diikuti dengan terbentuknya fibrin melalui pengaktifan faktor-faktor koagulasi darah. Akhirnya terbentuklah white clot yang merupakan gumpalan dini pada daerah plak yang ruptur. Selanjutnya datanglah eritrosit untuk menutupi seluru permukaan white clot sehingga terbentuklah red clot. Sebagai respon terhadap disfungsi dan adanya luka pada endotel maka terjadilah vasokonstriksi yang akan memperberat proses oklusi pada pembuluh koroner sehingga menimbulkan manifestasi klinis sebagai Sindrom Koroner Akut (SKA). Proses trombogenesis akut adalah kunci utama dalam patofisiologi SKA.
Diagnosis
SKA merupakan suatu kegawatdaruratan dalam bidang kardiologi sehingga identifikasi dini, penegakkan diagnosa secara tepat dan penanganan adekwat diperlukan untuk menghindarkan resiko mortalitas maupun morbiditas yang ditimbulkannya. Dalam penanganan SKA dikenal prinsip time is muscle, muscle means life. Semakin cepat penanganan maka akan meminimalkan luasnya kerusakan otot jantung sehingga fungsi ventrikel dapat dipertahankan se-optimal mungkin demi tercapainya kualitas hidup penderita dalam jangka panjang ke depan.
Diagnosa SKA harus dapat ditegakkan dengan cepat dan tepat dengan berdasarkan 3 kriteria utama yaitu;
anamnesa yang cermat akan adanya nyeri dada yang khas
elektrokardiogram (EKG)
pemeriksaan cardiac marker
1. Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesa merupakan modalitas yang sangat penting dalam penegakan diagnosa SKA, hal tersebut dikarenakan seringkali pemeriksaan fisik pada pasien SKA tidak memberikan tanda-tanda yang berarti. Pemeriksaan fisik terutama hanya menunjukkan adanya tanda-tanda komplikasi pasca serangan misalnya dengan terdapatnya gallop, bising jantung terkait regurgitasi mitral atau ruptur septal, hipotensi atau shock, tanda-tanda bendungan paru akut, tanda-tanda simpatisasi serta adanya aritmia.
Nyeri dada tipikal (angina) adalah gejala kardinal pada kejadian SKA. Adalah penting bagi klinisi untuk mampu mengenal nyeri dada yang berasal dari iskemia / infark miokard dan membedakannya dengan nyeri dada lainnya. Nyeri dada tipikal dibedakan dengan nyeri dada lainnya berdasarkan lokasi nyeri dan penjalarannya, sifat karakteristik nyerinya, durasi, faktor pencetus dan peredanya, faktor penyertanya, serta dengan menanyakan adanya faktor-faktor resiko PJK. Nyeri dada tipikal yang mengarah pada SKA adalah nyeri dada akut berupa rasa berat seperti tertekan yang berasal dari retrosternal atau dada sebelah kiri dan dapat menjalar hingga ke kerongkongan, rahang, bahu, punggung serta lengan kiri. Tidak jarang pada infark di inferior gejala yang dirasakan penderita berupa epigastric pain sehingga tidak jarang terlewatkan oleh klinisi jika pemeriksaan penunjang lainnya tidak dilakukan. Gejala tersebut muncul umumnya dipicu oleh aktivitas yang meningkatkan kebutuhan oksigen bagi otot jantung.
Nyeri dada yang terkait dengan infark miokard umumnya berlangsung lebih dari 15 menit dan tidak mudah mereda walaupun sudah beristirahat dan menggunakan preparat nitrat. Nyeri dapat dirasakan sedemikian hebatnya dan disertai dengan tanda-tanda simpatisasi seperti keringat dingin, takikardia, mual dan muntah. Tidak jarang penderita datang telah dalam kondisi sesak napas dikarenakan disfungsi ventrikel kiri sebagai salah satu komplikasi SKA. Unstable Angina sendiri dapat tampil berupa tiga jenis presentasi klinis yang membedakannya dengan Stable Angina yaitu ;
angina yang terjadi saat istirahat (rest angina)
angina yang baru pertama kali dialami (new onset angina)
angina yang memberat dalam hal frekuensi maupun durasinya
2. Elektrokardiogram (EKG)
EKG 12 sadapan adalah pemeriksaan penunjang terpenting dan terpraktis dalam penegakan diagnosa SKA. Sesuai dengan algoritma Advanced Cardiac Life Support (ACLS) terbaru, pasien dengan nyeri dada akut yang dicurigai sebagai suatu SKA harus dilakukan perekaman EKG untuk selanjutnya akan diklasifikasikan ke dalam 3 kelompok utama untuk kepentingan terapi lanjutannya.
Pengelompokan pasien dengan nyeri dada tipikal tersebut berdasarkan triase EKG adalah ;
Kelompok dengan gambaran EKG ST-elevasi (STEMI) atau Left Bundle Branch Block (LBBB) onset baru. Merupakan kecurigaan yang kuat akan terjadinya injury maupun infark.
Kelompok dengan gambaran EKG ST-depresi atau inversi gelombang T yang dinamis (UA resiko tinggi / N-STEMI). Merupakan kecurigaan yang kuat akan suatu proses iskemia miokard.
Kelompok dengan gambaran EKG dalam batas normal atau tidak spesifik. Merupakan UA resiko rendah-menengah.
Penderita SKA dengan gambaran EKG berupa ST-elevasi atau LBBB baru dan memiliki waktu onset <> 0.1 mV pada dua atau lebih sadapan ekstremitas berdampingan dan atau > 0.2 mV pada dua atau lebih sadapan prekordial berdampingan. ST elevasi pada suatu kelompok sadapan akan diikuti oleh depresi ST pada sadapan kontralateral lainnya sebagai suatu fenomena elektrik saat terjadinya infark. Selanjutnya perlahan gelombang T akan turun dan menjadi inversi yang diikuti pula dengan terbentuknya gelombang Q yang lebar dan dalam (Q patologik) sebagai penanda adanya kematian / infark dari miokard bersangkutan. Segmen ST dalam beberapa hari berikutnya akan turun kembali ke garis isoelektrik sehingga selanjutnya sisa gambaran EKG pada infark berupa adanya Q patologik disertai dengan inversi gelombang T. Oleh karena itu EKG serial dibutuhkan dalam diagnosis yang akurat serta follow up. Selain sebagai pendukung diagnosis SKA, melalui EKG juga dapat diperkirakan lokasi miokard yang mengalami infark.
3. Pemeriksaan Cardiac Marker
Cardiac marker berguna untuk mendeteksi adanya kerusakan otot jantung. Menurut Panduan ACC/AHA dan ESC 2007, terdapat 3 cardiac marker yang dianjurkan yaitu cardiac specific Troponin I (TnI) / Troponin T (TnT), creatine kinase myocardial band (CKMB) dan myoglobin. Peningkatan kadar cardiac marker tersebut lebih dari 2 kali nilai normal mengindikasikan adanya kerusakan otot jantung.
Beberapa hal terkait dengan cardiac marker ;
- cardiac specific Troponin merupakan gold standard untuk mendeteksi kerusakan miokard pada pasien yang dicurigai SKA karena cardiac marker ini sangat spesifik terhadap otot jantung
- cardiac Troponin positif pada pasien dengan klinis SKA merupakan indikator pasien resiko tinggi
- CKMB masih merupakan cardiac marker unggulan untuk deteksi dini infark miokard serta pada kecurigaan akan adanya infark miokard rekuren (angina post-infark).
- Myoglobin adalah penanda yang sangat sensitif untuk kejadian infark miokard, namun bersifat kurang spesifik (negative predictive value).
Spektrum Klinis Sindrom Koroner Akut
Jenis
Nyeri dada
EKG
Cardiac marker
UA
Rest angina, new onset angina, crescendo angina; bisa mereda dengan nitrat
Depresi ST, inversi T, tidak ada Q patologik
normal
NSTEMI
Nyeri lebih berat dan lama (>30 mnt);
Tidak kunjung mereda dengan nitrat, memerlukan opioid
Depresi ST, inversi T yang dalam
meningkat
STEMI
Nyeri lebih berat dan lama ( >30 mnt); tidak mereda dengan nitrat, memerlukan opioid
Hiperakut T, elevasi ST,
Q patologik, inversi T
meningkat
Kesimpulan
Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah manifestasi klinis dari penyakit jantung koroner yang bersifat kegawatdaruratan. SKA sendiri merupakan suatu spektrum klinis yang terdiri atas Unstable Angina (UA), Non-ST Elevesi Myocardial Infarction (NSTEMI) dan ST-Elevasi Myocardial Infarction (STEMI). Presentasi klinis tersebut terjadi disebabkan oleh adanya ruptur atau erosi dari plak atheroma pada pembuluh koroner. Proses trombogenesis akut merupakan kunci utama patofisiologi SKA. Penanganan factor 2 risiko khususnya dyslipidemia sangat penting dalam upaya pencegahan terhadap penyakit jantung koroner Identifikasi dan penanganan dini diperlukan untuk menekan angka mortalitas maupun morbiditas. Terdapat 3 modalitas diagnosa yang penting pada SKA yaitu anamnesa adekwat terhadap nyeri dada, perekaman EKG dan pemeriksaan cardiac marker (terutama CKMB dan cardiac Troponin).
DAFTAR PUSTAKA
Mihai Gheorghiade, Robert O. Bonow, Coronary Artery Disease, In: H. David Humes, Kelley’s Textbook of Internal Medicine. 4th edition. Philadelphia; Lippincott Williams & Wilkins; 2000.Ch.72
Eric. J Topol, Frans J. Van de Worf, Acute Myocardial Infarction: Early Diagnosis and Management, In: Eric J.Topol, Textbook of Cardiovascular Medicine, 2nd edition. Lippincott Williams & Wilkins; 2002
Rumah Sakit Jantung Harapan Kita. Diagnosis dan Tatalaksana Hipertensi, Sindrom Koroner Akut dan Gagal Jantung. Jakarta: Balai Penerbit Rumah Sakit Jantung Harapan Kita; 2001
Sjaharuddin Harun, Tommy P.Sibuea. Diagnosis dan Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut. Prosiding Simposium Pendekatan Holistik Penyakit Kardiovaskular VI; Juli 2007; Jakarta, Indonesia. Jakarta: Penerbit FKUI; 2007
Huon H.Gray, Keith D.Dawkins, cs. Lecture Notes Kardiologi. Edisi keempat. Jakarta: Erlangga; 2003
H.L.Brooks, K.C.Preuss, cs, Basic Concepts of Myocardial Infarction, In: Harold L.Brooks, Electrocardiography: 100 Diagnostic Criteria. USA; Year Book Medical Publishers, Inc; 1987.p.35-50
Bambang Irawan, Pathogenesis of Acute Coronary Syndrome, In: Workshop Acute Coronary Syndrome, 4th Jogja Cardiology Update; Juli 2008; Yogyakarta, Indonesia. Yogyakarta: Penerbit FK UGM; 2008.p.5-20.
John M.Field, editors. Advanced Cardiovascular Life Support Provider Manual. USA: American Heart Association; 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar